'Bara' di balik penolakan pengungsi Rohingya di Aceh

  • 6 bulan yang lalu
Kasus penolakan sebagian warga Aceh terhadap ratusan pengungsi Rohingya saat hendak berlabuh dengan perahu kayu, disebut sosiolog bisa memicu kekacauan dan mempertegas gesekan antara warga di masa depan.

Di sisi lain, pemerhati pengungsi Rohingya mengatakan gelombang pengungsi yang datang ke Indonesia kemungkinan akan semakin besar ke depan, karena bantuan internasional untuk pengungsi ini teralihkan ke Ukraina dan Gaza.

Pemerintah Indonesia menyerukan agar negara-negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 “menunjukkan tanggung jawab lebih”.

Sebelumnya kapal yang berisi lebih 200 pengungsi juga ditolak warga saat memasuki Kuala Pawon, Kabupaten Bireuen.

Meskipun menolak kedatangan pengungsi, ratusan warga sempat memberikan bungkusan berisi makanan dan pakaian bekas kepada para pengungsi sebelum akhirnya mengusir mereka kembali ke dalam kapal. Para pengungsi kembali melanjutkan perjalanan bertaruh nyawa.

Dalam perkembangan terbaru, tiga perahu yang berisi lebih dari 500 pengungsi Rohingya mendarat di provinsi paling barat Indonesia pada hari Minggu (19/11), kata badan PBB yang mengurusi pengungsi (UNHCR).

Satu perahu telah tiba di Kabupaten Bireuen di Provinsi Aceh dengan 256 orang di dalamnya, sementara setidaknya kapal lain yang memuat 239 etnis Rohingya tiba di wilayah Pidie di Aceh dan sebuah perahu yang lebih kecil yang membawa 36 orang tiba di Aceh Timur.

Kedatangan terakhir ini berarti lebih dari 800 pengungsi telah mendarat di Provinsi Aceh pada minggu ini saja, setelah 196 orang tiba pada hari Selasa dan 147 orang pada hari Rabu, menurut pejabat setempat.

Menurut kantor berita AFP, perahu Rohingya berlabuh di pantai di Bireuen setelah para pengungsi turun.

Para pengungsi tersebut ditempatkan di tempat penampungan sementara sambil menunggu keputusan dari pihak berwenang mengenai nasib mereka.

Untuk kebutuhan makanan, mereka mendapat layanan dari Kementrian Sosial. Dalam masa tanggap darurat, makan mereka diatur tiga kali sehari secara rutin. Mereka juga memperoleh pemeriksaan kesehatan.

Namun, warga di sekitar lokasi pengungsian menjatuhkan ultimatum bagi mereka untuk pergi ke lokasi lainnya.

Menurut sosiolog dari Universitas Syiah Kuala, Siti Ikramatoun perubahan sikap warga Aceh ini, lantaran akumulasi pengalaman tidak menyenangkan dari hubungan berinteraksi dengan pengungsi Rohingya selama bertahun-tahun.

“Kasus-kasus yang muncul justru pada akhirnya mengikis kepercayaan itu". "Baik kasus pelecehan, ditambah dengan kasus-kasus lain yang melarikan diri, bertengkar dengan warga setempat dan lain-lain,” katanya.

Pengalaman ini telah memberikan penafsiran dan pemahaman baru kepada warga Aceh terkait dengan solidaritas kemanusiaan, kata Siti. Ini benar-benar jauh dari kesan warga Aceh yang semula "peumulia jamee (pemuliaan tamu) dan adat meulaot yang mewajibkan menyelamatkan orang yang terancam nyawanya di laut".

Dianjurkan