Jalan Terjal Penataan BUMN
  • last year
TEMPO.CO - Kasus penyelundupan onderdil Harley Davidson di Garuda merupakan sisi lain dari gambar yang sama terkait dengan banyaknya kasus korupsi dan buruknya performa badan usaha milik negara (BUMN). Kasus-kasus tersebut menjadi cerminan nyata bahwa banyak penghargaan yang dikantongi oleh beberapa BUMN selama ini belum menjamin profesionalisme di dalamnya.

Pergantian sumber daya manusia di BUMN saja tidaklah cukup. Harus dilakukan pembenahan sistem secara menyeluruh, yang dimulai dari Kementerian BUMN dan deputi-deputi yang membawahkan berbagai BUMN. Mekanisme rekrutmen para deputi harus dibebaskan lebih dulu dari sindrom "orang titipan". Mereka sebaiknya merupakan pejabat karier, baik di kementerian maupun dari BUMN terkait yang kompeten. Setidaknya ada kriteria komparatif dan kompetitif sebelum seseorang menduduki posisi deputi yang membawahkan beberapa bidang BUMN. Parameter tersebut semestinya tersampaikan kepada publik dan semua pemangku kepentingan agar ada beban moral untuk tidak melakukan pelanggaran yang mengingkari prestasi dan rekam jejak masing-masing di kemudian hari. Kemudian baru beralih ke direksi BUMN yang harus benar-benar menggunakan merit system dengan reward dan punishment yang jelas. Hal tersebut hanya bisa dilakukan jika Erick Tohir bertindak independen berdasarkan pemahaman dan pengalamannya selama menjadi pengusaha.

Erick juga harus melepas jauh-jauh latarnya sebagai ketua tim sukses Jokowi. Jika tidak, latar tersebut akan menjadi salah satu pintu masuk keterlibatan partai dalam penentuan sumber daya manusia dalam direksi BUMN dan akan selalu dipandang demikian oleh masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum, pengisian posisi direksi menjadi salah satu lahan "balas budi" dari penguasa untuk para relawan. Untuk memutus jalur tersebut, Erick harus meyakinkan rakyat bahwa latar belakang politiknya sudah selesai. Walaupun, sayangnya, penunjukan Arya Sinulingga sebagai staf khusus membenarkan keterkaitan tersebut. Ke depan, pembuktian lanjutan menjadi afdal jika rekrutmen direksi dilakukan melalui uji kelayakan dan kepatutan yang ketat dan terbuka, punya kriteria yang jelas, serta bisa dipahami publik.


Selain itu, peluang konflik kepentingan pada diri Erick Tohir sendiri tidaklah kecil, mengingat posisinya juga sebagai pengusaha berpayung konglomerasi. Peluang perusahaan pribadi dan pengusaha-pengusaha yang dekat dengan dia, Istana, dan partai untuk menikmati keuntungan tak adil dari bisnis BUMN harus ditekan sekecil mungkin dengan penerapan merit system dalam penentuan direksi BUMN. Tak salah juga jika Komisi Pemberantasan Korupsi diajak dalam proses seleksinya.

Tugas lain yang tak kalah berat adalah soal kesehatan keuangan BUMN. Sampai hari ini, total pendapatan BUMN tercatat sekitar Rp 210 triliun. Sialnya, sekitar 76 persen hanya berasal dari 15 BUMN. Padahal total BUMN kita tak kurang dari 142, belum termasuk anak usahanya yang sangat banyak. Dari catatan Menteri Keuangan Sri Mulyani, ada tujuh BUMN yang masih merugi meski menerima bantuan suntikan modal dalam bentuk penyertaan modal negara sejak 2015. Mereka adalah PT Dok Kodja Bahari, PT Sang Hyang Seri, PT PAL, PT Dirgantara Indonesia, PT Pertani, Perum Bulog, dan PT Krakatau Steel.

Tampaknya Sri Mulyani lupa memasukkan satu lagi badan yang juga rugi dan butuh kepastian, yakni Asuransi Jiwasraya. Seretnya likuiditas dan defisit kecukupan modal menjadi masalah utama Jiwasraya. Sampai 2020, Jiwasraya membutuhkan dana Rp 16,13 triliun. Badan ini juga membutuhkan dana Rp 32,89 triliun untuk menaikkan rasio kecukupan modal sesuai dengan standar minimal, yakni 120 persen dari modal minimum berbasis risiko. Sayangnya, sampai hari ini Erick dan Sri Mulyani tak pernah terang-terangan menjelaskan nasib Jiwasraya. Padahal, jika mengacu pada instruksi Presiden, Erick harus menyelesaikan permasalahan Jiwasraya dalam waktu dekat.

Hal yang tak kalah penting juga adalah masalah BUMN yang potret keuangannya abu-abu: terhitung rugi karena menjalankan misi pemerintah kemudian untung setelah memasukkan piutang pemerintah atas nama subsidi yang sebenarnya belum sepenuhnya diterima. Sebut saja Pertamina, yang mendapatkan US$ 5,6 miliar untuk penggantian biaya subsidi dari pemerintah serta US$ 3,9 miliar untuk pendapatan dan aktivitas operasi lain-lain. Sementara itu, pada pos pendapatan lainnya, perolehan pos tersebut disokong oleh selisih harga jual beberapa produk Pertamina dengan nilai mencapai US$ 3,1 miliar.
Subscribe: https://www.youtube.com/c/tempovideochannel

Official Website: http://www.tempo.co
Official Video Channel on Website: http://video.tempo.co
Facebook: https://www.facebook.com/TempoMedia
Instagram:https://www.instagram.com/tempodotco/
Twitter: https://twitter.com/tempodotco
Google Plus: https://plus.google.com/+TempoVideoChannel